Hukrim
Ada Persaingan Politik Lokal Dibalik Kasus Korupsi Sekda Keerom Non Aktif
Rabu, 22 Mei 2024 Jayapura 1241 Pengunjung
Caption : Saksi Ahli Chairul Huda saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli pada sidang Praperadilan Sekda Keerom Non Aktif TI
JAYAPURA (IUSTITIA PAPUA)
– Saksi Ahli Dr Chairul Huda MH, SH mensinyalir ada pesaingan
politik local, sehingga menyebabkan Sekda Kabupaten Keerom Non Aktif Trisiswanda Indra (TI) disangkakan melakukan tindak
pidana korupsi Dana Bansos di Pemkab Keerom.
“Pengalaman saya biasanya ada persaingan
politik local. Ada pihak – pihak tertentu yang menginginkan orang itu menjadi Tersangka.
Untuk mengamputasi peluang didalam kontestasi politik local. Yang paling banyak
itu kejadiannya. Itu yang sangat kita sayangkan dan mudah – mudahan tidak
terjadi dalam perkara ini,”kata Chairul kepada media ini, usai menjadi saksi
ahli dalam lanjutan kasus Gugatan Praperadilan yang diajukan Sekda Keerom Trisiswanda Indra (Pemohon) kepada Kapolri,
Kapolda Papua dan Penyidik (Termohon). Rabu (22/5/2024).
Untuk itu
dirinya memberikan saran, jikalau Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka. Maka lihat
lagi perkara ini secara proposional. “Karena peta politik sudah berubah.
Presiden terpilih sudah ada. Sehingga kita lihatlah kedepan. Janganlah kemudian menggunakan cara – cara seperti ini
untuk kemudian bersaing secara tidak sehat,”tekannya.
Dalam persidangan dengan
agenda sidang mendengarkan keterangan saksi itu, ada dua saksi yang dihadirkan
oleh Kuasa Hukum Pemohon yakni Anthon Raharusun, Juhari dan Iwan Niode di muka
persidangan dengan Hakim Tunggal Wempy
William James Duka.
Dua saksi itu Corry Erlyn Reawaruw (istri Pemohon) dan Dr Chairul Huda MH, SH (saksi ahli).
Terlalu Banyak Cacat Prosedural
Lanjut Charul, penetapan tersangka yang
disangkakan kepada TI adalah tidak sah. Terlalu
banyak cacat prosedur yang dilakukan penyidik pada saat menangani kasus. Seperti
SPDP tidak disampaikan dan Alat bukti keuangan negara bukan didasarkan pada hasil
Audit BPK.
“Bahkan Sprindik berkali –
kali menunjukkan bahwa selama ini ada proses hukum yang tidak ditemukan alat bukti,”terangnya.
Untuk itu dalam perkara Praperadilan ini,
tugas dari Hakim Prapid yang memeriksa apakah Penyidik yang dalam perkara ini duduk
sebagai Termohon mempunyai alat bukti menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
“Karena orang
dijadikan tersangka itu mati. Seperti tidak boleh mencalonkan diri menjadi
bupati. Kalau sudah terpilih tidak boleh dilantik. Jadi penetapan orang sebagai
tersangka adalah perbuatan orang yang sangat krusial. Oleh karena itu harus
didasari pada prosedur dan alasan yang kuat,”paparnya.
Menurut hematnya, begitu banyak masalah yang
terkait dengan penetapan Tersangka. Apalagi dalam perkara ini ditemukan fakta
bahwa hasil penyelidikannya justru dirampungkan setelah ada penetapan
tersangka. “Itu menunjukkan tidak sah,”tegasnya.
Selanjutnya pemeriksaan ahli pidana maupun
ahli keuangan negara, setelah ada penetapan tersangka. Itu juga menunjukkan
tidak sah penetapan Tersangkanya.
“Jadi menurut saya, seharusnya pengadilan bisa
melihat bahwa kasus dugaan korupsi yang menimpa Sekda Keerom Non Aktif TI ini
adalah terlalu terburu – buru penetapan Tersangkanya. Prematur, tidak
didasarkan pertimbangan dan alat bukti yang cukup. Sehingga menurut saya harus
dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak sah,”ucapnya lagi.
Tetapi walaupun demikian itu berpulang kepada kebijaksanaan Hakim Tunggal Praperadilan. “Saya hanya berpendapat dari segi normative saat ini,”akunya.
BPKP Tak
Berhak Tetapkan Kerugian Negara
Dari pengalamannya sebagai seorang Saksi Ahli
Hukum Pidana, diungkapkannya kasus yang menimpa Sekda Keerom Non Aktif ini di
Pengadilan banyak sekali dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan.
“Terakhir
saya memberikan keterangan seperti ini di Pengadilan Negeri Makasar, yang mana pengadilan
memeriksa seseorang yang ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan hasil
pemeriksaan BPKP. Itu langsung
dinyatakan tidak sah. Karena tidak berwenang menetapkan kerugian negara,”tukasnya.
Namun hasil pemeriksaan BPKP sebagai bukti
awal terkait ada dugaan menimbulkan peristiwa hukum pidana, bisa dilakukan.
“Jadi hasil pemeriksaan BPKP itu hanya hasil penyelidikan
naik ke penyidikan. Tidak bisa digunakan untuk menetapkan Tersangka. Sebab
penetapan Tersangka harus melalui BPK RI. Karena baik oleh UUD, UU BPK, Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Surat Edaran Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang
mempunyai kewenangan konstitusional untuk menetapkan tersangka adalah BPK,”jelasnya
rinci.
Kalaupun
dilakukan perhitungan oleh BPKP, harus di declare oleh BPK. “Nah dalam kasus
ini, declare ini yang belum ada. Dalam kasus ini penyidik terlalu terburu – buru
menetapkan Tersangka.
Sosok Charul Huda sendiri kesehariannya adalah sebagai Dosen Hukum Acara Pidana di Universitas Muhamadyah Jakarta. Berbagai kasus besar di Indonesia yang pernah melibatkan dirinya sebagai saksi ahli. Seperti kasus korupsi yang melibatkan mantan Direktur Pertamina Karen Agustiawan, Mantan Ketua BPK RI Achsanul Qosasi dan Budi Gunawan. (Julia)
Baca juga:
Penulis : Editor Iustitia