Hukrim
Sekda Keerom Praperadilkan Kapolda Papua
Kamis, 16 Mei 2024 Jayapura 2493 Pengunjung
Caption : Suasana persidangan Praperadilan Sekda Keerom Non Aktif TI di Pengadilan Tipikor Jayapura. (foto : ist)
JAYAPURA (IUSTITIA PAPUA) –
Sekertaris Daerah (Sekda) Non Aktif Kabupaten Keerom Trisiswanda Indra (TI) mempraperadilakan
Kapolda Papua, Irjen Pol Mathius Fakhiri.
TI oleh Penyidik Polda
Papua disangkakan terlibat kasus dugaan korupsi penyaluran dana Bansos Pemda
Keerom Tahun Anggaran (TA) 2018 senilai Rp. 18.258.250.000,-
Dalam sidang pra peradilan dipimpin Hakim Tunggal
Wempy William James Duka, SH, MH di Pengadilan Negeri Tipikor Jayapura, Kamis
(16/5/2024).
TI memberikan kuasa
kepada Tim Penasehat Hukum diantaranya Dr. Anthon Raharusun, SH, MH, didampingi
Juhari, SH, MH, Iwan Niode, SH, MH dan Agustinus, SH, MH.
Kepada wartawan Anthon Raharusun didampingi kedua
rekan lawyer-nya mengatakan Penyidik Polda Papua telah melakukan penangkapan
dan penahanan terhadap Sekda Keerom TI terhitung sejak Kamis (14/4/2024) sampai
dengan tanggal 4 Mei 2024 atau selama 20 hari di Rutan Polda Papua.
Kemudian penyidik telah melakukan perpanjangan
penahanan oleh Kejaksaan Tinggi Papua selama 60 hari terhitung sejak tanggal 5
Mei 2024 sampai dengan tanggal 29 Mei 2024.
“Persidangan praperadilan hari ini adalah
sidang pertama pembacaan permohonan praperadilan, yang diajukan Tim Penasehat
Hukum Sekda Keerom TI, untuk menguji mengenai sah atau tidaknya tindakan
penangkapan dan penahanan atas diri tersangka yang dilakukan penyidik Polda
Papua sebagai termohon. Sah atau tidaknya tindakan penetapan tersangka,”terangnya seusai
persidangan.
Lanjutnya sah atau tidaknya tindakan penyitaan
yang dilakukan termohon dalam hal ini penyidik Polda Papua dan penyidik tidak
memberikan dan menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
kepada tersangka setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK)
oleh penyidik Polda Papua.
Bahwa terkait tindakan penangkapan, penahanan
dan penetapan seseorang menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana, maka dalam
ketentuan Pasal 1 angka (14), Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, menegaskan untuk
menetapkan seorang sebagai tersangka harus berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Selanjutnya, perintah
penangkapan dan perintah penahanan terhadap seorang berdasarkan bukti permulaan
yang cukup dan bukti yang cukup minimal telah ditemukan dua alat bukti sah oleh
Penyidik. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa bukti permulaan, bukti permulaan
yang cukup dan bukti cukup adalah minimal dua alat bukti, yang termuat dalam
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang
diperoleh dari keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa.
Belum Cukup Bukti
Dalam kasus dugaan penyaluran dana Bansos ini,
belum ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup. Karena BPK RI tak
men-declare atau menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam penyaluran
Bansos tersebut.
“Oleh karena itu, Tim BPK
RI tak menemukan bukti korupsi dalam kasus penyaluran dana Bansos, yang
melibatkan Sekda Keerom,”bebernya.
Lebih jauh dijelaskannya,
menurut informasi kasus penyaluran dana Bansos ini telah dilakukan penyelidikan
oleh Kejaksaan Tinggi Papua sejak tahun 2021. Namun tidak ditindaklanjuti
dengan penyidikan.
Menurut informasi dari kliennya Sekda Keerom
IT, bahwa yang bersangkutan sudah diperiksa penyidik Polda Papua sejak tahun
2022.
Kemudian tahun 2023 berdasarkan Laporan Polisi
Nomor: LPA/1/I/2023/SPKT.DITKRIMSUS/Polda Papua, Tanggal 10 Januari 2023, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan beberapa SPRINDIK, yaitu Surat
Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Sidik /16.a /I /RES.3.1./ 2023/Ditreskrimsus,
Tanggal 10 Januari 2023, Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin-Sidik /112.1
/V/ RES.31./ 2023/Ditreskrimsus, Tanggal 24 Mei 2023, Surat Perintah Penyidikan
Nomor: Sprin-Sidik/ 286.1/ XI/ RES.31./ 2023/Ditreskrimsus, Tanggal 30 November
2023, Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin-Sidik/31.a/ II/ RES.31./ 2024/
Ditreskrimsus, Tanggal 7 Februari 2024, Surat Perintah Penyidikan Nomor:
Sprin-Sidik/ 61.a/ IV/ RES.31./ 2024/Ditreskrimsus, tanggal 13 April 2024.
“Lima SPRINDIK seharusnya penyidik Polda Papua
menyampaikan SPDP kepada terlapor maupun tersangka dalam hal ini Sekda Keerom.
Tapi kenyataannya hingga kini penyidik tak menyerahkan SPDP kepada Sekda Keerom,”ungkapnya.
Lanjutnya lagi kalaupun penyidik menyerahkan
kepada Kejaksaan Tinggi Papua bisa saja.
Tetapi kalau tak diserahkan kepada terlapor atau tersangka jelas fatal. “Inilah
sebenarnya akan dinilai oleh hakim dalam sidang praperadilan,”imbuhnya.
Tolah Penangguhan
Penahanan
Selanjutnya terkait dengan penangkapan dan
penahanan. Kliennya menolak dengan tegas untuk tidak mengajukan permohonan
penangguhan penahanan kepada Kapolda Papua, untuk menangguhkan atau mengalihkan
jenis penahanan menjadi tahanan kota.
“Klien kami (Sekda Keerom-red)
merasa tidak bersalah dalam kasus
penyaluran dana Bansos tersebut. Apalagi dalam kasus Bansos ini tidak ada bukti
baik berupa hasil audit BPK ataupun adanya Laporan BPK ke Penyidik Polda Papua
sebagai dasar, untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut dalam
penyaluran Bansos tersebut,”bebernya.
Selain itu juga belajar dari kasus-kasus
korupsi lainnya mengacu pada hasil audit BPK, yang menjadi salah satu alat
bukti penting untuk menyatakan ada tidaknya kerugian negara dalam perkara
tersebut.
Dimana kerugian negara itu harus nyata, bukan menduga-duga dan pastinya jumlah yang terjadi sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggaran negara.
Hanya
Kantongi Audit Rutin
Selaku Tim pembela Anthon Raharusun bersama tiga
rekannya yakin, Penyidik Polda Papua hanya mengantongi hasil pemeriksaan rutin
atau audit rutin yang dilakukan oleh BPKP Provinsi Papua.
Hal ini sebagai dasar untuk menetapkan Sekda
Keerom sebagai tersangka. “Padahal, BPKP bukanlah lembaga yang memiliki
kewenangan konstitusional untuk men-declare atau menyatakan adanya kerugian
keuangan negara dalam penyaluran Bansus tersebut,”timpalnya.
Kasus Sekda Keerom ini disinyalir sarat dengan
kepentingan politik tertentu dan bukan untuk kepentingan penegakkan hukum
semata.
Sehingga perlu menguji mengenai
tindakan-tindakan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polda Papua yang
terkait dengan penangkapan, penahanan, penyitaan dan penetapan Sekda Keerom
sebagai tersangka dalam kasus Bansos.
Penyidik sendiri menduga telah ditemukan bukti
adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam penyaluran dana Bansos senilai Rp. 18.258.250.000,-
yang menurut penyidik diduga dikorupsi yang bersangkutan.
Ada Oknum Jaksa Penerima
Bansos ?
“Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan.
Pertama, siapa penyaluran dana Bansos. Kedua, siapa penerima dana Bansos.
Ketiga, siapa yang bertanggungjawab dalam penerima dana Bansos bukan Sekda
Keerom,”ucapnya.
Terkait soal kemana saja aliran dana Bansos
tersebut, sebagai berikut ditransfer kepada Rekening Donasi Bencana BPBD
Provinsi Papua sebesar Rp. 100 juta, diberikan kepada penerima riil atau sesuai
ketentuan sebesar Rp. 57 juta. Digunakan oleh Alm Muhammad Markum selaku Wakil
Bupati dan Bupati Keerom pada saat itu sebesar Rp.12.620.000.000.
Diberikan oleh Kepala BPKAD pada saat itu
sebesar Rp. 1.120.000.000 kepada oknum Jaksa atas perintah Bupati Keerom saat
itu Alm Muhammad Markum.
Kebijakan Kepala BPKAD pada saat itu diberikan
kepada PNS sebesar Rp 1.855.000.000 atas perintah Bupati Keerom saat itu Alm Muhammad
Markum Almarhun.
Diberikan kepada tujuh anggota
DPRD Kabupaten Keerom sebesar Rp.2.506.250.000 atas perintah Bupati Keerom Alm Muhammad
Markum Almarhum.
Total penyaluran dana
Bansos Pemda Keerom Tahun Anggaran 2018 senilai Rp 18,258,250.000. (Julia)
Penulis : Editor Iustitia