logo loading

Tekno

Good Govermance dan Penguatan Manajemen ASN Menuju Birokrasi Berkekas Dunia

Selasa, 02 Agustus 2022 76 Pengunjung

Oleh:

Anthon Raharusun

Konsep good governance telah menjadi trend global yang akan menggeser tradisional dari pemerintahan yang melibatkan seluruh sector dalam masyarakat termasuk dunia swasta. Konsep unilateral pemerintahan oleh pemerintah beralih kepada konsep multi-lateral dengan melibatkan stake-holders yang memiliki ciri-ciri antara lain: (i) interaksi; (ii) komunikasi; (iii) self-enforcing process; (iv) balance of force; dan (v) interdependence.

Dari alasan-alasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pola pemeritahan yang tradisional telah tidak mampu menciptakan partisipasi masyarakat secara sukarela, menyelesaikan isu social maupun politik hanya oleh pemerintah sendiri. Apabila konsep good governance tidak dilakukan, maka akan timbul berbagai masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti: ketidakberdayaan masyarakat, kurangnya keinginan untuk berpartisipasi, bertambahnya rasa apatis terhadap pemerintah, tersisihnya masyarakat dari proses pemerintahan, didominasinya agenda kebijakan dan pemerintahan oleh sekelompok elite yang berkuasa, makin dominannya pemerintah dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya, terjadinya korupsi, kurangnya akuntabilitas dan transparansi, dan kurang tanggapnya pemerintah terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

Good Governance dan Penguatan Manajemen ASN Beranjak dari berkembangnya konsep good governance sebagaimana tesebut di atas, maka salah satu tuntutan dan amanat gerakan reformasi di Indonesia adalah mewujudkan pemerintahan yang baik dan besih (good and clean governance). Hal ini disebabkan reformasi politik yang radikal ternyata tidak diimbangi dengan reformasi birokrasi yang jelas.

Tidak adanya roadmap yang visioner tentang arah dan strategi kebijakan di bidang birokrasi dan administrasi publik menyebabkan upaya yang selama ini dilakukan tidak berjalan dengan efektif. Selain itu, reformasi yang kita bangun belum mampu menghasilkan kepemimpinan yang mampu menstransformasikan Indonesia kearah yang lebih baik, di mana hingga saat ini kepemimpinan politik dan birokrasi masih merupakan sebuah persoalan besar dalam perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia.

Disamping itu, pelayanan publik yang merupakan denyut nadi pemerintahan tidak pernah dirasakan hasilnya secara nyata oleh rakyat. Hal ini disebabkan kualitas pelayanan semakin menurun, konsep-konsep perencanaan daerah tidak komprehensif, belum adanya standar pelayanan public dan akuntabilitas pelayanan masih rendah -yang disebabkan oleh terbatasnya dana yang tersedia untuk pelayanan masyarakat. Pemerintah senantiasa dituntut untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, ekonomis dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat, maka format penataan ke depan dilakukan dengan penentuan secara jelas dan tegas pelayanan-pelayanan dasar apa yang harus disediakan oleh Pemerintah [pemerintah daerah]. Dengan demikian, adanya standar pelayanan minimum (SPM) akan meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas Pemerintah Daerah kepada masyarakat.

Dalam kaitan ini, maka reformasi birokrasi merupakan suatu keniscayaan yang perlu dilakukan untuk menghadapi era globalisasi yang penuh dengan berbagai tantangan. Pergeseran paradigma politik dan pemerintahan yang terjadi pada era reformasi merupakan momentum tepat untuk menata kembali manajemen pemerintahan [baca: aparatur sipil negara] sebagai upaya perwujudan reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia mulai dari Pusat hingga ke Daerah [baca: pemerintahan daerah] yang lebih efektif, efisien, professional dan demokratis, dalam upaya mewujudkan Good Governance yang berkelas dunia.

Untuk mewujudkan birokrasi berkelas dunia tentu tidaklah mudah dan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk membangun sebuah paradigm baru guna menciptakan sumber daya manusia aparatur sipil negara berkelas dunia. Oleh karena itu, menurut penulis untuk mewujudkan birokrasi berkelas dunia, diperlukan suatu transformasi birokrasi dan pengelolaan sumber daya aparatur (human capital) secara komprehensif.

Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa abad 21 menghadapkan lingkungan strategis nasional dan internasional yang berbeda dengan tantangan strategis yang dihadapi pada Abad 20. Di akhir Abad 20 dan dalam dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia menghadapi tantangan-tantangan berat di segala bidang; krisis multi dimensi, ancaman desintegrasi, dan keterpurukan ekonomi menjadi salah satu alasan perlunya sebuah Grand Design Reformasi Birokrasi melalui berbagai program dan kebijakan guna menggapai visi “terwujudnya pemerintahan (baca: birokrasi) berkelas dunia”.

Oleh karena itu, selain perlunya grand design birokrasi, juga diperlukan Road Map Reformasi Birokrasi yang ditetapkan dalam suatu kerangka kebijakan dan strategis implementasi reformasi birokrasi. Hal ini mengingat, berbagai kebijakan dan strategis yang selama ini dilaksanakan ternyata kurang berhasil mencapai sasaran baik jangka menengah maupun jangka panjang untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, meningkatkan pelayanan publik, dan akuntabilitas kinerja pemerintahan.

Berbagai indikator mengindikasikan masih rendahnya kinerja dan efektifitas pelaksanaan reformasi birokrasi di Kementerian maupun Lembaga. [baca: di tingkat Pusat dan Daerah]. Indikator-indikator pembangunan menunjukan bahwa posisi Indonesia berada dalam kelompok terendah dalam peta kemajuan pembangunan bangsa-bangsa, baik dilihat dari indeks pembangunan manusia, ketahanan ekonomi, struktur industri, perkembangan pertanian, sistem hukum dan peradilan, penyelenggaraan clean government, dan penyelenggaraan good governance baik pada sektor publik mau pun bisnis.

Selain itu, Indonesia masih dipandang sebagai negara dengan resiko tinggi, dengan tingkat korupsi termasuk tertinggi, demikian pula dari besarnya hutang luar negeri.

Birokrasi sebagai suatu sistem pengorganisasian aparatur negara dengan tugas yang sangat luas dan kompleks sangatlah diperlukan dalam pengendalian operasi menajemen pemerintahan, namun kinerja birokrasi dan rutinitas kegiatan pejabat dan aparat birokrasi sering menyebabkan masalah baru. Permasalahan baru ini menjadikan birokrasi statis, kurang peka terhadap lingkungan sosialnya, bahkan terkesan cenderung resisten terhadap pembaharuan.

Keadaan tersebut seringkali memunculkan potensi praktek mal-administrasi yang berpotensi pada pratek korupsi, kolusi dan nepotisme [KKN] dan menurunnya pelayanan public. Bertitik tolak dari kondisi birokrasi seperti itu, maka reformasi birokrasi dan good governance merupakan pilar utama dan titik sentral dalam menciptakan Manajemen Aparatur Sipil Negara menjadi sebuah keniscayaan menuju birokrasi berkelas dunia.

Merit System Sebagai Model Penataan Birokrasi Beranjak pentingnya reformasi birokrasi dan good governance tersebut, maka salah satu hal penting dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) adalah lebih menekankan pada pentingnya Merit System, yaitu kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, ataupun kondisi kacacatan.

Dalam kaitan ini, maka prinsip dasar “Merit System” sebagaimana dimaksud dalam UU ASN dilakukan melalui: (i) seleksi dan promosi secara adil dan kompetitif; (ii) menerapkan prinsip fairness; (iii) penggajian, reward and punishment berbasis kinerja; (iv) standar integritas dan perilaku untuk kepentingan public; (v) manajemen SDM secara efektif dan efisien; dan (vi) melindungi pegawai dari intervensi politik dan dari tindakan semena-mena.

Untuk melaksanakan prinsip dasar sebagaimana dimaksud UU ASN tersebut, maka diperlukan konsistensi Pemerintah dalam melaksanakan UU tersebut melalui reformasi birokrasi secara komprehensif. Mengingat, reformasi birokrasi merupakan konsep yang luas ruang lingkupnya, mencakup pembenahan struktural (kelembagaan) dan kultural, prosedural, dan etika birokrasi yang sangat complicate, di mana Pemerintah telah memiliki norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Sistem Merit dalam Manajemen ASN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), antara lain mengamanatkan bahwa Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak, jabatan. dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana setiap instansi Pemerintah wajib menerapkan prinsip dan menghindari praktek yang dilarang dalam sistem merit pada setiap pelaksanaan pengisian jabatan.

Untuk itu dalam rangka pengisian jabatan tinggi harus pula memperhatikan 9 (sembilan) prinsip dasar dalam sistem merit, yaitu: (i) melakukan rekrutmen, seleksi, dan prioritas berdasarkan kompetisi yang terbuka dan adil; (ii) memperlakukan Pegawai Aparatur Sipil Negara secara adil dan setara; (iii) memberikan remunerasi yang setara untuk pekerjaan-pekerjaan yang setara dan menghargai kinerja yang tinggi; (iv) menjaga standar yang tinggi untuk integritas, perilaku dan kepedulian untuk kepentingan masyarakat; (v) mengelola Pegawai Aparatur Sipil Negara secara efektif dan efisien; (vi) mempertahankan atau memisahkan Pegawai Aparatur Sipil Negara berdasarkan kinerja yang dihasilkan; (vii) memberikan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara; (vii) melindungi Pegawai Aparatur Sipil Negara dari pengaruh-pengaruh politik yang tidak pantas atau tidak tepat; dan (ix) memberikan perlindungan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara dari hukum yang tidak adil dan tidak terbuka.

Namun, dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan penerapan sistem merit ini seringkali dilakukan tidak sejalan dengan amanat UU ASN. Sejalan dengan prinsip dasar sistem merit dalam penyelenggaraan Manajemen ASN, diperlukan pengaturan Manajemen PNS yang antara lain bertujuan untuk menghasilkan PNS yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam rangka pelaksanaan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu.

Dalam perundang-undangan bidang Pegawai Negeri Sipil antara lain ditegaskan bahwa manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Oleh karenanya, Kewenangan pembinaan Manajemen PNS dapat didelegasikan kepada Pejabat yang Berwenang (PyB) dalam pelaksanaan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, dalam hal pemberhentian Pegawai Negeri Sipil oleh Pejabat yang Berwenang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan yang merupakan norma, standar, dan prosedur dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dilakukan sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sejalan dengan sistem merit dalam manajemen ASN tersebut, maka untuk mencapai birokrasi berkelas dunia, diperlukan penguatan dan konsisten Pemerintah dalam menerapkan kebijakan Merit Sistem ini adalah sebuah keniscayaan. Pendekatan kebijakan yang bersifat peace-meal dalam penerapan merit sistem sebagai sebuah sistem birokrasi dan role model birokrasi, tidak akan pernah menggapai visi terwujudnya birokrasi berkelas dunia sebagaimana diharapkan.

Dengan demikian, diperlukan pembenahan birokrasi mengarah pada penataan ulang aspek internal maupun eksternal birokrasi. Dalam tataran internal, pembenahan birokrasi harus diterapkan baik pada level puncak (top level bureaucrats), level menengah (middle level bureaucrats), maupun level pelaksana (street level bureaucrats).

Pembenahan pada top level harus didahulukan karena posisi strategis para birokrat di tingkat puncak adalah sebagai pembuat keputusan strategis. Pada tataran menengah, keputusan strategis yang dibuat oleh pemimpin harus dijabarkan dalam keputusan-keputusan operasional dan selanjutnya ke dalam keputusan-keputusan teknis bagi para pelaksana di lapangan (street level bureaucrats).

Menuju Birokrasi Berkelas Dunia Sebagaimana telah disebutkan bahwa kebijakan reformasi birokrasi didesain dalam rangka menggapai visi “terwujudnya pemerintahan (baca: birokrasi) berkelas dunia”. Makna dari visi tersebut adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang professional, dan berintegritas tinggi (baca: bebas KKN), yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21, di mana birokrasi Indonesia diharapkan mampu menjadi birokrasi berkelas dunia dan dapat bersaing dengan negara-negara lain di dunia.

Oleh karena itu, penguatan terhadap Manajemen ASN lebih diarahkan atau berorientasi untuk menghasilkan Bikrokrasi (baca: pegawai ASN) yang professional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang berlandaskan pada prinsip: nilai dasar, kode etik perilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan public, kompetensi yang diperlukan untuk menunjang bidang tugas, kualifikasi akademik, jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas, dan professionalitas jabatan.

Untuk menggapai atau mewujudkan visi birokrasi Indoneaia berkelas dunia, maka terdapat dua faktor utama yang barangkali menjadi problem dan menyebabkan pelambatan serta kekurangefektifan reformasi birokrasi Kementerian/Lembaga baik di tingkat Pusat maupun Daerah, yaitu: Pertama, faktor penyeragaman strategi kebijakan dan pelaksanaan reformasi birokrasi. Misalnya, strategi tersebut terlalu menekankan pada penyeragaman kebijakan yang procedural yang bersifat top down, tanpa mempertimbangkan kondisi spesifik pada struktur implementasi reformasi birokrasi di lapangan. Kedua, faktor birokratisasi reformasi birokrasi. Dalam banyak kasus, pemenuhan dokumen reformasi birokrasi menjadi prioritas utama reformasi birokrasi, bukan pencapaian sasaran-sasaran reformasi yang bersifat substansial. Tujuan dan target reformasi birokrasi menjadi salah arah.

Selain kedua faktor tersebut, menurut penulis juga diperlukan adalah sebuah Road Map Birokrasi (Bureaucracy Road Map) untuk mewujudkan visi birokrasi berkelas dunia di masa mendatang, yaitu: Pertama, terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi menjadi salah satu permasalahan terbesar bangsa Indonesia saat ini, di mana korupsi tidak saja membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum, tetapi berpotensi memperlemah sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan dan pembenahan terhadap sistem birokrasi yang korup mutlak dilakukan agar menggapai visi birokrasi Indonesia berkelas dunia.

Sebab, apabila sistem birokrasi yang korup tidak dibenahi secara menyeluruh, maka untuk menggapai birokrasi berkelas dunia hanyalah sebuah mimpi dan isapan jempol semata. Kedua, terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat; Ketiga, meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Pencapaian ketiga sasaran tersebut diukur dengan menggunakan berbagai indikator. Sasaran Pertama, menggunakan indikator Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan Opini BPK (Wajar Tanpa Pengecualian/WTP); sasaran Kedua memakai indicator integritas pelayanan publik dan peringkat kemudahan berusaha; dan sasaran Ketiga, menggunakan indikator indeks efektivitas pemerintahan dan instansi pemerintahan yang akuntabel (SAKIP).

Bertitik tolak dari berbagai hal sebagaimana dikemukakan di atas, terutama terkait dengan Good Governance sebagai perwujudan penguatan Manajemen Aparatur Sipil Negara dalam rangka menjawab dinamuka perubahan dan tantangan Birokrasi di masa depan, maka diperlukan sebuah transformasi birokrasi dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Sipil Negara secara komprehensif dan berkesinambungan menuju birokrasi berkelas dunia, maka menurut penulis terdapat 3 (tiga) hal utama yang penekanannya lebih berorientasi pada: pertama, rule based bureaucracy melalui pembenahan/perbaikan Administrasi Kepegawaian; kedua, performance based bureaucracy melalui pembenahan/perbaikan Manajemen SDM ASM; dan ketiga, dynamic governance melalui pengembangan potensi human capital -yang pada gilirannya akan menciptakan birokrasi Indonesia yang bersih, bebas korupsi, kompeten dan melayani. Hanya melalui transformasi birokrasi dan pengelolaan SDM Aparatur Sipil Negara berdasarkan 3 (tiga) hal utama sebagaimana tersebut di atas, maka dapat mewujudkan visi Birokrasi Indonesia Berkelas Dunia.


Penulis adalah Praktisi Hukum, Direktur Papua Anti Corruption Investigation dan Pengajar pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak-Papua.    


Penulis : Redaksi Iustitia Papua