Tekno
Peradi Sebagai Organ Negara Dan Badan Hukum Perkumpulan
Selasa, 02 Agustus 2022 63 Pengunjung
Oleh:
Anthon Raharusun
Eksistensi atau Keberadaan Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”) sebagai “Organ Negera”(state organs) dipopulerkan pertama kali melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XI/2013 bertanggal 11 September 2014, yang dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah berpendapat bahwa “Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri, yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang advokat dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, maka Organisasi Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah “organ negara” dalam arti yang bersifat mandiri, yang juga melaksanakan fungsi Negara”.
Pertimbangan Mahkamah tersebut telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menegaskan bahwa “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Lebih lanjut dalam ketentuan ayat (2) ditegaskan pula bahwa “Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga”.
Berdasarkan pertimbangan Mahamah tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam penulisan ini adalah pertama: apakah Organisasi Peradi sebagai “organ negara” (state organ) termasuk dalam ranah cabang kekuasaan kehakiman sejajar dengan institusi penegak hukum lainnya? kedua: sebagai organ negara dan badan hukum perkumpulan, apakah benar Peradi tidak memerlukan tindakan administratif untuk memperoleh pengesahan dan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagai badan hukum perkumpulan?
Konsepsi Tentang Organ Negara Perkembangan pemikiran teoretis dan praktek mengenai organisasi negara ini sama dinamisnya dengan perkembangan mengenai teori dan praktek organisasi pada umumnya. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan itu berkembangan dalam banyak ragam dan bentuknya, baik di tingkat pusat atau nasional maupun di tingkat daerah atau lokal. Gejala perkembangan semacam itu merupakan kenyataan yang tak terelakkan karena tuntutan perkembangan zaman dan keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks dewasa ini.
Sebenarnya, semua corak, bentuk, bangunan, dan struktur organisasi yang ada hanyalah mencerminkan respons negara dan para pengambil keputusan (decision maker) dalam suatu negara dalam mengorganisasikan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat negara yang bersangkutan. Karena kepentingan-kepentingan yang timbul itu berkembang sangat dinamis, maka corak organisasi negara juga berkembang dengan dinamikanya sendiri.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak bertumbuh organ-organ atau lembaga-lembaga negara baru. Organ-organ negara baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai organ negara yang bersifat penunjang.
Di antara organ-organ itu kadang-kadang ada yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau organ-organ/lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan, tetapi justeru dilakukan secara bersamaan oleh organ-organ/lembaga baru tersebut. Di Amerika Serikat, lembaga-lembaga independen yang serupa itu di tingkat federal dengan fungsi yang bersifat regulatif dan pengawasan atau pemantauan (monitoring) lebih dari 30-an banyaknya, bahkan terus berkembang.
Misalnya, di Amerika Serikat, dikenal adanya Federal Trade Commission (FTC), Federal Comminication Commission (FCC) dan masih banyak lagi (Jimly Asshiddiqie dalam buku Perkembangan&konsilidasi lembaga negara pasca reformasi, 2006:8-9). Semua lembaga-lembaga atau organ tersebut bukan dan tidak dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta atau lembaga non pemerintah (Ornop) atau NGO’s (non govermental organisation). Namun, keberadaannya tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun cabang kekuasaan kehakiman (judiciary).
Ada yang bersifat independen dan ada pula yang semi atau quasi independen, sehingga bisa juga independent and quasi independent agencies, corporations, committes and commissions. Bentuk organisasi atau lembaga-lembaga negara yang bersifat auxiliary ataupun quasi tersebut di atas serta korporasi-korporasi lainnya yang dibentuk untuk jaminan fleksibilitas pengelolaan kegiatan secara otonom bagi kepentingan pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat publik, menggambarkan telah terjadinya perubahan yang besar dan sangat mendasar dalam corak kelembagaan organisasi negara di zaman sekarang. Corak kelembagaan organisasi negara dewasa ini dengan kompleksitas sistem administrasinya sudah sangat jauh berkembang, dan tidak terbayangkan jika kita hubungkan dengan paradigma trias politica Monstesquie pada abad ke-18.
Lalu, bagaimana dengan corak dan struktur organisasi negara atau kelembagaan negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat. Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, Indonesia mengalami hyper state auxiliary organs, atau hyper auxiliary institutions maupun hyper regulations, di mana banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk, sehingga memerlukan perundang-undangan organik untuk mengatur keberadaan lembaga-lembaga negara yang lahir di era reformasi.
Beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independen dimaksud antara lain, lembaga tinggi negara seperti: presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA dan BPK. Lembaga negara dan komisi-komisi negara yang independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti: KY, Bank Sentral, TNI, POLRI, KPU, Kejaksaan Agung –yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justitia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian, KPK juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, juga KOMNAS HAM, yang dibentuk berdasarkan undang-undang tetapi juga memiliki constitutional importance serta lembaga-lembaga dan komisi-komisi dilingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti: Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombusman, Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan. Selain itu, terdapat pula Lembaga, Korporasi dan Badan Hukum Milik Publik atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti: Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA, KADIN, KONI, BUMN Perguruan Tinggi, KORPRI, Ikatan Notaris Indonesia (INI), dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Dari uraian di atas, terkait dengan perkembangan organisasi negara atau lembaga negara yang terjadi di berbagai negara dan juga di Indonesia, dapat dikatakan bahwa untuk memahami konsep dan pengertian lembaga negara atau organ negara secara tepat, kita memang tidak dapat lagi menggunakan kacamata Montesquie dengan trias politica-nya. Banyak sekali hal-hal yang sudah berubah sejalan dengan dinamika perkembangan ketatanegaraan yang terjadi di seluruh dunia, sehingga fungsi-fungsi kekuasaan negara tidak lagi bersifat trikotomis antara fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif semata.
Ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariatif, sehingga yang dinamakan “organ negara” atau “lembaga negara” tidak lagi hanya pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikemukakan oleh Mostequie sejak abad ke-18. Bahkan, dalam buku yang terbit pada pertama kali dalam bahasa Jerman pada tahun 1925, Algemeine Staatslehre dalam Hans Kelsen (General Theory of Law and state, 1961:192-195), dinyatakan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”. These fuctions, menurur Hans Kelsen, “be they of a norm-creating or of a norm applying character, are all ultimately aimed at the execution of legal sanction”.
Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh tata-hukum (legal order) adalah organ atau lembaga negara, baik yang bersifat menciptakan norma (norm-creating) ataupun yang sifatnya melaksanakan norma hukum (norm applying). Cara yang sederhana untuk menentukan apakah suatu organ atau suatu institusi itu lembaga negara atau bukan adalah dengan cara melihat domain keberadaannya sebagai subjek hukum kelembagaan. Suatu organ dikatakan tergolong berada dalam ranah/domain kehidupan masyarakat (civil society) apabila organisasi itu mencerminkan keperluan untuk melembagakan subjek hak dan kewajiban dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, secara sederhana istilah “organ negara” atau “lembaga negara” dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau lembaga biasa disebut Ornop (Organisasi Non Pemerintah). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif dan yudikatif ataupun yang bersifat campuran.
Memang benar bahwa istilah-istilah organ, lembaga, dan badan, itu seringkali dianggap identik dan karena itu sering saling dipertukarkan. Akan tetapi, satu sama lain sebenarnya dapat dan perlu memang dibedakan, sehingga tidak membingungkan, bahkan menimbukan multi interpretasi. Untuk mengetahui persis, maka tidak ada jalan lain kecuali mengetahui persis apa yang dimaksud, apa kewenangan dan fungsi yang dikaitkan dengan organisasi atau badan yang bersangkutan.
Sebagaimana pendapat Hans Kelsen tersebut di atas, maka organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying) sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen di atas. Lebih lanjut menurut Kelsen, “An organ, in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ negara ditentukan oleh fungsinya “He is an organ because and in so far as he performs a law-creating or law-applying function”.
Individu tersebut dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law applying function). Pemikiran Hans Kelsen ini jika dikaitkan dengan fungsi Advokat sebagai penegak hukum dan sebagai salah satu unsur sistem peradilan, maka salah satu fungsi yang dijalankan oleh Advokat adalah organ negara yang melaksanakan fungsi negara untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan “Kekuasaan Kehakiman merupakan Kekuasaan yang Merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna Menegakkan Hukum dan Keadilan”. Dengan demikian, fungsi Advokat adalah menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (norm applying) dalam penegakan hukum dan keadilan.
Peradi Sebagai State Auxiliary Organs dan Sejarah Pendirian
Berikutnya, masih akan dibahas lebih lanjut mengenai keberadaan Peradi sebagai State Auxiliary Organs dan Sejarah Pendiriannya, apakah benar Peradi tidak memerlukan tindakan administratif sebagai Badan Hukum Perkumpulan untuk memperoleh pengesahan dan persetujuan Pemerintah terkait dengan keberadaannya sebagai Badan Hukum Perkumpulan yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini bahwa Peradi sebagai “organ negara” (state organs) dipopulerkan atau diperkenalkan oleh Makamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 103/PUU-XI/2013 bertanggal 11 September 2014, di mana secara historical ternyata sejak awal pedirian dan penyatuan oleh 8 (delapan) organisasi advokat yang memiliki keinginan luhur sebagai The Founding Fathers mendirikan Peradi ketika itu, tidak ditemukan dengan menghadirkan organisasi advokat dalam suatu sistem yang membuat organisasi advokat itu secara konstitusional berada pada state organs yang memiliki constitutional importance sejajar dengan institusi penegak hukum lainnya.
State organs (organ negara) baru diperkenalkan oleh MK melalui putusan yang sangat baik dan perlu ditindaklanjuti oleh organisasi advokat. Konsekuensi dari organisasi advokat sebagai bagian dari state organs adalah sebuah keniscayaan yang harus diperjuangkan dan menjadi pekerjaan rumah bersama oleh organisasi advokat untuk dapat mewujudkan keberadaan organisasi Peradi sebagai state organs dalam arti sesungguhnya. Tetapi unfortunately esper saat ini kehadiran dan keberadaan organisasi advokat –yang walaupun dalam visi state organs, akan tetapi secara organisatoris, Peradi adalah organ berbentuk perkumpulan, di mana harus tunduk dan taat pada hukum perkumpulan.
Kenapa demikian? Karena secara pragmatis, ketika organisasi Peradi lahir dan dibentuk, secara pragmatis, justeru memilih dasar pendiriannya berdasarkan basis perkumpulan. Jadi kalau suatu saat nanti, katakanlah organisasi Peradi ingin menjadikan atau mensejajarkan Organisasi Advokat sebagai state organs dalam arti yang luas sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions yang bebas dan mandiri dan menjadi bagian dari cabang kekuasaan kehakiman, maka perlu di ubah bentuk badan hukum perkumpulan menjadi state organs yang sejajar dengan institusi penegak hukum lainnya, seperti: kepolisian dan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebab, kalau kita cermati mengenai kewenangan organisasi advokat sebagai state organs antara ada dan tiada –yang hanya memiliki 8 (delapan) kewenangan organisasi yang diatur dalam UU Advokat sebagaimana juga dipertegas dalam putusan MK No. 066/PUU-III/2004, di mana Mahkamah berpendapat bahwa “Satu-satunya wadah profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Advokat adalah satu-satunya wadah profesi advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f], pengangkatan advokat [Pasal 2 ayat 2)], membuat kode etik Pasal 26 ayat (1)], membentuk dewan kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk komisi pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan advokat [Pasal 19 ayat (1)] Undang-Undang Advokat”.
Dengan demikian, sumber kewenangan organisasi advokat sebagai organ negara memperoleh kekuasaan dari undang-undang advokat (No.18/2003) untuk melaksanakan 8 (delapan) delegasi kewenangan organisasi, dan karenanya merupakan organ undang-undang. Selain itu, keberadaan Peradi sebagai state organ berdasarkan putusan MK tersebut memiliki constitutional importance yang keberadaannya seolah-olah sederajat atau sama dengan kelembagaan negara lainnya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Istilah “Organ Negara” yang ditemukan atau baru dipopulerkan oleh MK, sejak awal pendirian organisasi Peradi tahun 2003 tepatnya pada 16 Juni 2003, delapan organisasi advokat menyepakati untuk membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) untuk mempersiapkan sebuah organisasi advokat bernama “Peradi”, dan dalam waktu kurang lebih 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk organisasi Peradi dan tahun 2005 mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan.
Namun, unfortunately (sayangnya) visi, pemikiran dan idealisme penyatuan organisasi advokat secara luhur oleh para pendiri tidak menghadirkan suatu sistem yang membuat organisasi peradi itu secara konstitusional berada pada bentuk “state organ”, ternayata tidak ditemukan oleh para pendiri organisasi Peradi, bahwa organisasi Advokat yang akan didirikan tersebut adalah organisasi Advokat yang menjadi bagian dari organ negara (state organ) dalam arti sesungguhnya yang mempunyai derajat constitutional impoertance yang setara dengan institusi penegak hukum lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Namun, sekali lagi sayangnya keberadaan dan kehadiran organisasi Peradi sejak awal pendiriannya oleh para pendiri (The Founding Fathers) tidak memiliki visi yang jauh kedepan (looking forward) untuk menghadirkan/menjadikan Organisasi Advokat sebagai sebuah organ negara (state organs) yang kedudukannya sederajat/setara dengan institusi penegak hukum lainnya dalam struktur lembaga negara. Tetapi, para founding fathers secara pragamatis lebih memiih visi untuk mendirikan Peradi hanya sebagai sebuah Organ Perkumpulan (association organs).
Oleh karenanya, keberadaan organisasi Peradi sesunggugnya tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan kehakiman (judiciary), sehingga secara institusional organisasi Peradi hanyalah sebagai organ perkumpulan yang bersifat penunjang (state auxiliary institutions) yang menjadi wadah berhimpunnya Advokat Indonesia.
Mengapa demikian? Karena sebenarnya, sejak awal pendirian Organisasi Peradi, para pendiri tidak menegaskan bahwa Organisasi Peradi adalah benar-benar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Organ Negara (state argans) dalam arti luas, sehingga keberadaan Peradi sebagai Organisasi Advokat sudah berada pada jalur yang salah/keliru sejak kelahirannya. Konsekuensinya, keberadaan organisasi Peradi sebagai state organs, menjadi satu bagian penting dari pekerjaan rumah kita bersama untuk mewujudkan organisasi Peradi sebagai state organs dalam arti yang sebenarnya.
Sebab, walaupun saat ini kehadiran organisasi Peradi dalam visi state organs, tetapi dalam organisasi Peradi adalah badan hukum perkumpulan. Sehingga keberadaannya harus tunduk pada UU Perkumpulan sebagai konsekuensi dari sebuah badan hukum perkumpulan yang didirikan berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (2) UU Advokat yang terus mengalami dinamika perubahan dari waktu ke waktu.
Kendatipun Peradi sebagai wadah Organisasi Advokat itu hanyalah sebagai organ penunjang dan tidak termasuk dalam cabang kekuasaan kehakiman atau sebagai bagian dari “genus kekuasaan kehakiman” dalam struktur dan sistem ketatanegaran Indonesia. Akan tetapi, Advokat berstatus sebagai penegak hukum menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat dan sebagai salah satu unsur penting dalam sistem peradilan dan merupakan salah satu pilar dalam penegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Jadi, pendapat atau analisa dari Dr. Fahri Bachmid yang mengatakan organisasi Peradi adalah “state organs” adalah keliru.
Sebab, walaupun benar bahwa kedudukan organisasi Peradi juga melaksanakan fungsi negara sama seperti pendapat MK, akan tetapi fakta kepemimpinan organisasi Peradi yang sejak awal pendirian sengaja memilih bentuk organisasi advokat sebagai suatu perkumpulan, maka kesimpulan atau analisis dari Dr. Fahri Bachmid tidak memiliki basis fakta berdasarkan pada sejarah pendirian organisasi Peradi. Jadi secara simply, analisis tersebut tidak sejalan dengan fakta sejarah di mana organisasi Peradi sendiri sudah memilih bentuk organisasinya sebagai bentuk badan hukum perkumpulan.
Peradi Sebagai Badan Hukum Perkumpulan Keberadaan organisasi Peradi sebagai sebuah entitas organisasi yang berbadan hukum perkumpulan (subjek hukum) yang sah dalam lalu lintas hukum, maka jika dikaitkan dengan pendapat Molengraaff bahwa, suatu badan hukum pada hakekatnya merupakan “hak dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama, dan di dalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggota adalah juga pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu”.
Sementara itu, menurut pandangan Otto von Gierke yang memandang bahwa “badan hukum sebagai sesuatu yang nyata (realiteit), bukan fiksi”. Teori Otto von Gierke yang juga diikuti oleh L.C. Polano ini atau seringkali juga disebut teori organ yang memberikan gambaran bahwa “badan hukum merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi yuridis seolah-olah sebagai manusia yang sesungguhnya dalam lalu lintas hukum, yang juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya yaitu pengurus dan anggotanya, dan sebagainya. Apa yang mereka putuskan dianggap sebagai badan hukum itu sendiri”. Semua pandangan teori tersebut di atas, berusaha memberikan pembenaran ilmiah terhadap keberadaan suatu badan hukum sebagai subjek hukum yang sah dalam lalu lintas hukum.
Dengan demikian, setiap badan hukum yang dapat dikatakan mampu bertangung jawab (rechtsbevoegheid) secara hukum, haruslah memiliki 5 (lima) unsur pokok agar memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai badan hukum, yaitu: (i) adanya harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang lain; (ii) mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (iii) mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum; (iv) memiliki organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan perundang-undangan dan peraturan internalnya (internal law) sendiri (anggaran dasar/anggaran rumha tangga); (v) terdaftar sebagai badan hukum yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
Selain itu, di satu pihak badan hukum terikat pada hukum negara (state law), tetapi secara internal badan hukum itu juga terikat pada internal law yang tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang berlaku sebagai norma hukum yang mengingat secara internal atau sebagai rule of the game yang wajib ditati oleh pengurus dan anggotanya, dan karenanya setiap badan hukum hanya dapat bertindak melalui organ kepengurusannya.
Karena itu, keteraturan organisasi kepengurusan badan hukum itu menjadi sangat penting. Hal ini mengingat anggaran dasar badan hukum itu seringkali disebut sebagai konstitusi atau hukum tertinggi yang memiliki constitutional importance dalam setiap organisasi badan hukum. Organisasi yang baik dan teratur biasanya selalu menjadikan anggaran dasar sebagai konstitusi yang berlaku mengikat secara internal.
Jika timbul permasalahan, perbedaan pendapat, atau perselisihan antar pengurus atau anggota, maka mekanisme penyelesaiannya pun selalu berpedoman pada anggaran dasar sebagai basis konstitusi tertinggi dapat dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian permasalahan yang timbul. Dengan demikian, perbedaan pendapat tidak perlu sampai menyebabkan timbulnya perpecahan dalam tubuh organisasi yang tidak dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat sesuai dengan perangkat norma hukum dan etika (rule of law ataupun rule of ethics) yang berlaku.
Dari kelima unsur pokok yang diuraikan di atas itu sudah terpenuhi, maka suatu badan atau organisasi tersebut dapat disebut sebagai badan hukum. Namun dalam praktik, meskipun organisasi itu telah memenuhi unsur pertama sampai dengan unsur keempat, tetapi selama belum terdaftar sebagai badan hukum sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan, organisasi itu secara formal belum dapat diakui keberadaannya sebagai badan hukum. Karena itu, timbul permasalahan mengenai apakah pendaftaran sebagai badan hukum juga dapat disebut sebagai unsur kelima dari badan hukum. Jika suatu organisasi telah secara resmi terdaftar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, barulah status sebagai badan hukum dapat dikatakan sah menurut hukum.
Akan tetapi, ada pendapat lain dari Pakar hukum tata negara Dr. Fachri Bachmid yang juga adalah salah satu wakil ketua bidang kajian hukum dan perundang-undangan DPN Peradi di bawah kepemimpinan Prof. Otto Hasibuan dalam tulisannya yang bertajuk: “Sebagai Organ Negara, Idealnya Peradi Tidak memerlukan Pengesahan Menkumham” atau Peradi tidak memerlukan tindakan administratif dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan argumentasi bahwa “Peradi sebagai state organs”, sehingga tidak perlu mendaftarkan pengesahan anggaran dasar dari Menteri.
Agurmentasi seperti ini adalah suatu argumentasi yang salah dan tidak objektif. Sebab, kendatipun MK telah memberikan pendapat hukum mengenai keberadaan organisasi Peradi sebagai state organs dalam arti yang bersifat mandiri, yang juga melaksanakan fungsi negara”. Akan tetapi, yang harus dilakukan oleh Peradi atau oleh Pengurus Peradi adalah bagaimana memperbaiki atau mengembalikan marwah organisasi Peradi sebagaimana “organ negara” (state organs) dalam arti luas seperti pendapat MK tersebut yang oleh banyak pihak, khususnya para Advokat secara berulang-ulang mengatakan bahwa “Peradi adalah organ negara”.
Tetapi, sesungguhnya organisasi Peradi hanyalah sebuah Badan Hukum Perkumpulan sejak didirikan, para pendiri tidak menegaskan idealisme dengan visi bukan sebagai state organ dalam arti luas. Artinya bahwa, jika Peradi sebagai state organs digunakan sebagai dasar untuk mendirikan organisasi Peradi, maka struktur wadah organisasi Peradi yang dalam keberadaannya saat ini sebagai sebuah perkumpulan berbadan hukum, haruslah di ubah dengan visi untuk menjadikan “Organisasi Peradi sebagai Organ Negara” dalam arti luas dalam struktur ketatanegaraan sebagai organ negara yang mandiri dan bebas dari segala intervensi.
Jadi, sepanjang keberadaan organisasi Peradi hanyalah sebuah badan hukum perkumpulan, maka dengan tidak melakukan tindakan administratif untuk mendaftarkan kepengurusan dan perubahan Anggaran Dasar ke Menteri Hukum dan HAM untuk mendapatkan pengesahan badan hukum dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar, maka tentu saja keberadaannya belum dapat dikatakan sebagai badan hukum perkumpulan yang sah atau tidak lebih sama seperti organisasi kemasyarakatan lainnya yang dapat menjadikan setiap orang yang memimpin organisasi kemasyarakatan seperti halnya organisasi Peradi, pada akhirnya memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan menjadi unlawfull.
Kalau kita secara cermat membaca ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat telah menegaskan bahwa “ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga”.
Maka, berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa sekurang-kurangnya dapat dilihat sebagai syarat formil selain keempat syarat materiil yang sudah disebut sebagai unsur pokok suatu badan hukum, suatu organisasi, badan, perkumpulan/perhimpunan, atau suatu perikatan hukum, untuk kepentingan tertib hukum, semua badan hukum publik yang memenuhi syarat formil dan materiil dan memiliki anggaran dasar organisasi, termasuk Peradi sebagai badan hukum perkumpulan atau sebagai organ negara yang memiliki anggaran dasar tersebut, sudah seharusnya terdaftar sebagai badan hukum yang sah dalam lalu lintas hukum di mata pemerintah (negara) untuk mendapat pengesahan dan persetujuan dari pemerintah dalam hal ini oleh menteri yang berwenang untuk itu sesuai perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangannya.
Oleh karenanya, perlu ditegaskan kembali bahwa argumentasi hukum Dr. Fahri Bachmid yang mengatakan “Peradi sebagai organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organs), idealnya tidak memerlukan tindakan administratif pengesahan Menteri Hukum dan HAM, karena mempunyai korelasi tentang lembaga negara yang merupakan “sine qua non” dalam dinamika ketatanegaraan suatu negara” adalah pendapat yang menyesatkan banyak pihak dan tidak memiliki dasar argumentasi ketatanegaraan sesuai kepakaran yang dimilikinya, bahkan cenderung menggunakan logical fallacy untuk menginterpretasikan bahwa seolah-olah organisasi Peradi adalah organ negara yang tidak memerlukan tindakan administrasi sebagai badan hukum perkumpulan adalah suatu kekeliruan berpikir.
Dalam cara membangun argumentasi tanpa melihat fakta historical yang terjadi.
Dalam kaitannya dengan keberadaan Peradi sebagai suatu entitas badan hukum perkumpulan yang telah memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga beserta perubahannya (termasuk perubahan struktur kepengurusan), seharusnya wajib atau idealnya perlu mendapat pengesahan atau persetujuan badan hukum perkumpulan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perubahan (“Permenkumham”).
Dalam Permenkumham tersebut ditegaskan bahwa, permohonan pengesahan badan hukum Perkumpulan diajukan oleh Pemohon kepada Menteri dengan melampirkan persyaratan materiil berupa: (i) salinan akta pendirian Perkumpulan atau salinan akta perubahan pendirian Perkumpulan yang diketahui oleh Notaris sesuai dengan aslinya; (ii) surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Perkumpulan yang ditandatangani pengurus Perkumpulan dan diketahui oleh lurah/kepala desa setempat atau dengan nama lainnya; (iii) sumber pendanaan Perkumpulan; (iv) program kerja Perkumpulan; (v) surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan; (vi) notulen rapat pendirian Perkumpulan; dan (vii) surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk memperoleh kartu nomor pokok wajib pajak.
Dengan demikian, jika secara administratif suatu perkumpulan telah mendapat pengesahan badan hukum dan persetujuan perubahan anggaran dasar dari pemerintah dalam hal ini menteri, maka secara legalitas perkumpulan tersebut telah terdaftar secara sah sebagai badan hukum. Namun, sebaliknya jika badan hukum perkumpulan tersebut, belum mendapat pengesahan dan persetujuan dari pemerintahan melalui menteri yang berwenang untuk itu, maka tentu saja badan hukum tersebut dapat dianggap tidak sah dan segala tindakan hukum dalam ranah administratif dapat berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan keseluruhan penjelasan sebagaimana tersebut di atas, maka perlu ditegaskan kembali bahwa secara pragmatis keberadaan Peradi sejak awal kelahiran atau pembentukannya tidak menegaskan idealismenya sebagai sebuah state organs yang sejajar dengan institusi penegak hukum lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tetapi, lebih menegaskan visi penyatuannya sebagai “Organisasi Berbadan Hukum Perkumpulan” yang tunduk pada Hukum Perkumpulan dan tidak termasuk dalam struktur “Organ Negara” (state organs) dalam arti luas dan/atau tidak termasuk dalam cabang kekuasaan kehakiman atau sebagai bagian dari “genus kekuasaan kehakiman” yang memiliki derajat konstitusional (constitutional importance) –yang dalam berbagai aktivitas organisasi, Peradi mendasarkan diri pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga beserta segala perubahannya sebagai rule of the game.
Sebagai sebuah entitas Badan Hukum Perkumpulan Organisasi Peradi tentu memerlukan tindakan administratif dari Pemerintah untuk memperoleh legalitas pengesahan dan persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tidak dilakukannya pendaftaran atas perubahan kepemimpinan organisasi advokat kepada Kemenkumham dapat berpotensi membuat kepemimpinan itu menjadi tidak sah. Karena UU Perkumpulan telah menegaskan seperti itu, agar perubahan kepemimpinan tersebut memiliki legalitas dari Pemerintah sebagai konsekuensi dari keberadaan organisasi advokat sebagai badan hukum perkumpulan.
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Dosen Tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak-Papua.
Penulis : Redaksi Iustitia Papua