
Hukrim
PN Jayapura Tolak Prapid Sekda Keerom, Hakim : SPDP Bukanlah obyek dari Praperadilan
Kamis, 30 Mei 2024 Jayapura 277 Pengunjung
JAYAPURA (IUSTITIA PAPUA) – Hakim Pengadilan Negeri (PN) Klas IA Jayapura menolak gugatan
Praperadilan Sekda Keerom non aktif Trisiswanda Indra (Pemohon) terkait Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada tersangka (Pemohon) setelah dikeluarkannya
Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) oleh penyidik Polda Papua (Termohon).
Pada persidangan yang berlangsung,
Rabu sore (29/5/2024), Hakim Tunggal Wempy William James Duka dalam amar putusannya menyinggung perihal tidak diterimanya
SPDP oleh pihak keluarga pemohon. Hal ini tidak diperoleh bukti pendukung lain.
Akan tetapi terkait bukti pendukung,
sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP bahwa keterangan dari
saksi yang tidak disumpah, meskipun sesuai hakim menilaimya, tidak merupakan
alat bukti. Namun apabila keterangannya sesuai dengan saksi yang disumpah,
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah dan lainnya.
Sehingga keterangan saksi Corry
Erlyn Reawaruw (istri Pemohon) yang tidak dibawa sumpah dan tidak
didukung keterangan saksi lainnya. Maka keterangan tersebut bukan merupakan alat
bukti di persidangan ini.
Sebaliknya surat dari Termohon (Penyidik
Polda Papua-red) yang telah diberi materai yang cukup dan telah dicocokkan
dengan aslinya di persidangan. Ternyata sesuai dan dapat dijadikan sebagai
bukti yang sah.
Selanjutnya terkait pemberian SPDP kepada Pemohon,
Hakim Wempy mempertimbangkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan
No.130 PU/XII/2015 didalam amarnya menyatakan sebagai berikut yakni, satu
mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
Kedua menyatakan Pasal 109 ayat 1
UU N0.8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana bertentangan dengan UU 45
secara bersyarat tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang rasa penyidik
memberitahukan kepada penuntut umum. Tidak
dimaknai.
Penyidik memberikan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, korban atau
pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari, setelah dikeluarkan SPDP.
Selanjutnya menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya dan keempat
memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita acara Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Selanjutnya setelah hakim mempelajari
secara seksama isi Putusan Mahkamah Konstitusi Aquo ternyata dalam amar putusan
maupun pertimbangannya tidak tercantum konsekuensi hukum.
Maka yang terjadi jika penyidik lalai dalam menyampaikan SPDP pada
penuntut umum ataupun pelapor dan terlapor dalam tenggang waktu tujuh hari. Karena
putusan ini lahir dari latar belakang adanya memberikan kesiapan bagi pihak
terlapor untuk mempersiapkan diri menghadapi proses selanjutnya. Termasuk pembelaannya
dan bagi pelapor untuk mengetahui sejauh mana proses persoalan yang diajukannya.
Menimbang bahwa pada bagian lain
berangkat dari pertimbangan tersebut diatas, hakim berpendapat bahwa SPDP
adalah bagian dari penyidikan yang secara khusus terkait dengan administrasi suatu
penyidikan dan bukan penyidikan seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1 yakni
penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan membuat cara yang
diatur dalam Undang – Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan
bukti yang membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi, guna menemukan
tersangka.
Sehingga menurut hakim SPDP bukanlah
obyek dari Praperadilan sebagaimana disyaratkan dalam UU No.8 tahun 1981 tentang
hukum acara pidana dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 maupun didalam Putusan MK
No. 21/PPU/XII/2014 dan juga dalam Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 4 tahun
2016 didalam Pasal 2 ayat 1.
Menimbang terkait permohonan pemohon berkaitan dengan ganti kerugian,
bahwa pendapat hakim dimana telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa tindakan Termohon
(Polda Papua) terkait Penangkapan, Penahanan, Penyitaan dan Penetapan tersangka
telah sesuai dengan Peraturan dan Ketentuan Perundangan yang berlaku. Sehingga dengan
sendirinya terhadap ganti kerugian dan rehabilitasi tidak beralasan hukum untuk
dikabulkan.
Selanjutnya terkait alat bukti
pemohon dan termohon menurutnya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Karena
menurutnya pemohon tidak bisa membuktikan dalil permohonannya.
Untuk itu Hakim Tunggal berpendapat
tindakan penetapan Tersangka yang dilakukan Termohon adalah sah menurut hukum. Serta
SPDP oleh Termohon kepada Pemohon adalah bukan merupakan obyek Praperadilan dan
hanyalah berdasarkan kesalahan administrasi yang tidak membuat keseluruhan
tahapan penyidikan menjadi batal.
Sehingga permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon tidak berdasarkan
menurut hukum dan haruslah Ditolak.
Diketahui dalam persidangan Tim Kuasa Hukum Polda Papua diketuai Kombes Pol
Didi Sumarsono AKP George Watimena, AKP Wahda J Saleh, Iptu Frits
Yawan, Iptu Lukman Alwadud, Ipda Dias Tamu Satria Okta, Bripka
Salman Tuharea, Bripda Frisko Apririyanto.
Sementara Kuasa hukum Pemohon diantaranya Anthon Raharusun, Juhari dan Iwan Niode. (Julia)
Penulis : Editor Iustitia