logo loading

Hukrim

PN Jayapura Tolak Prapid Sekda Keerom, Hakim : SPDP Bukanlah obyek dari Praperadilan

Kamis, 30 Mei 2024 Jayapura 217 Pengunjung

PN Jayapura Tolak Prapid Sekda Keerom, Hakim : SPDP Bukanlah obyek dari Praperadilan

Caption : Hakim Tunggal Wempy William James Duka

JAYAPURA (IUSTITIA PAPUA) – Hakim Pengadilan Negeri (PN) Klas IA Jayapura menolak gugatan Praperadilan Sekda Keerom non aktif  Trisiswanda Indra (Pemohon) terkait  Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada tersangka (Pemohon) setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) oleh penyidik Polda Papua (Termohon).

 Pada persidangan yang berlangsung, Rabu sore (29/5/2024), Hakim Tunggal Wempy William James Duka dalam amar putusannya menyinggung perihal tidak diterimanya SPDP oleh pihak keluarga pemohon. Hal ini tidak diperoleh bukti pendukung lain.

 Akan tetapi terkait bukti pendukung, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP bahwa keterangan dari saksi yang tidak disumpah, meskipun sesuai hakim menilaimya, tidak merupakan alat bukti. Namun apabila keterangannya sesuai dengan saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah dan lainnya.

 Sehingga keterangan saksi Corry Erlyn Reawaruw (istri Pemohon) yang tidak dibawa sumpah dan tidak didukung keterangan saksi lainnya. Maka keterangan tersebut bukan merupakan alat bukti di persidangan ini.

 Sebaliknya surat dari Termohon (Penyidik Polda Papua-red) yang telah diberi materai yang cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya di persidangan. Ternyata sesuai dan dapat dijadikan sebagai bukti yang sah.

  Selanjutnya terkait pemberian SPDP kepada Pemohon, Hakim Wempy mempertimbangkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No.130 PU/XII/2015 didalam amarnya menyatakan sebagai berikut yakni, satu mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

Kedua menyatakan Pasal 109 ayat 1  UU N0.8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana bertentangan dengan UU 45 secara bersyarat tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang rasa penyidik memberitahukan kepada  penuntut umum. Tidak dimaknai.

Penyidik memberikan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, korban atau pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari, setelah dikeluarkan SPDP.

Selanjutnya menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya dan keempat memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita acara Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 

 Selanjutnya setelah hakim mempelajari secara seksama isi Putusan Mahkamah Konstitusi Aquo ternyata dalam amar putusan maupun pertimbangannya tidak tercantum konsekuensi hukum.

Maka yang terjadi jika penyidik lalai dalam menyampaikan SPDP pada penuntut umum ataupun pelapor dan terlapor dalam tenggang waktu tujuh hari. Karena putusan ini lahir dari latar belakang adanya memberikan kesiapan bagi pihak terlapor untuk mempersiapkan diri menghadapi proses selanjutnya. Termasuk pembelaannya dan bagi pelapor untuk mengetahui sejauh mana proses persoalan yang diajukannya.

 Menimbang bahwa pada bagian lain berangkat dari pertimbangan tersebut diatas, hakim berpendapat bahwa SPDP adalah bagian dari penyidikan yang secara khusus terkait dengan administrasi suatu penyidikan dan bukan penyidikan seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1 yakni penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan membuat cara yang diatur dalam Undang – Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti yang membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi, guna menemukan tersangka.

 Sehingga menurut hakim SPDP bukanlah obyek dari Praperadilan sebagaimana disyaratkan dalam UU No.8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 maupun didalam Putusan MK No. 21/PPU/XII/2014 dan juga dalam Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 4 tahun 2016 didalam Pasal 2 ayat 1.

Menimbang terkait permohonan pemohon berkaitan dengan ganti kerugian, bahwa pendapat hakim dimana telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa tindakan Termohon (Polda Papua) terkait Penangkapan, Penahanan, Penyitaan dan Penetapan tersangka telah sesuai dengan Peraturan dan Ketentuan Perundangan yang berlaku. Sehingga dengan sendirinya terhadap ganti kerugian dan rehabilitasi tidak beralasan hukum untuk dikabulkan.

 Selanjutnya terkait alat bukti pemohon dan termohon menurutnya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Karena menurutnya pemohon tidak bisa membuktikan dalil permohonannya.

 Untuk itu Hakim Tunggal berpendapat tindakan penetapan Tersangka yang dilakukan Termohon adalah sah menurut hukum. Serta SPDP oleh Termohon kepada Pemohon adalah bukan merupakan obyek Praperadilan dan hanyalah berdasarkan kesalahan administrasi yang tidak membuat keseluruhan tahapan penyidikan menjadi batal.

Sehingga permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon tidak berdasarkan menurut hukum dan haruslah Ditolak.

 Diketahui dalam persidangan Tim Kuasa Hukum Polda Papua diketuai Kombes Pol Didi Sumarsono AKP George Watimena, AKP Wahda J Saleh,  Iptu  Frits Yawan, Iptu Lukman Alwadud, Ipda  Dias Tamu Satria Okta,  Bripka Salman Tuharea, Bripda Frisko Apririyanto. 

 Sementara Kuasa hukum Pemohon diantaranya Anthon Raharusun, Juhari dan Iwan Niode. (Julia)   




Penulis : Editor Iustitia