Tekno
Politisasi Sistem Noken Dalam Pemilu di Papua
Jumat, 14 Juli 2023 Jayapura 569 Pengunjung
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) Kota Jayapura, Anthon Raharusun. |Sistem noken di Papua.
Politisasi Sistem Noken Dalam Pemilu di Papua
Oleh: Anthon Raharusun
Saat ini yang sering terjadi adalah partai politik menganggap dirinya menguasai poros-poros kekuasaan. Para parpol akan semakin menguasai dan mengendalikan segala proses penyelenggaraan fungsi pemerintahan.
Sistem politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam artian yang luas. Sebaliknya lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) dapat bekerja dengan efektif berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan juga menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara.
Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir itu pada gilirannya memengaruhi tumbuh berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi.
Pelembagaan demokrasi itu pada dasarnya sangat ditentukan organisasi partai politik. Sebab, partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi.
Noken Sebagai Pengganti Kotak Suara
Beranjak dari pandangan tersebut di atas, dalam perspektif tradisi dan kultur demokrasi di tingkat lokal Papua, dengan berbagai entitas kemajemukan budaya dan adat istiadat. Selain unik, noken memberikan dampak tersendiri terhadap perkembangan dan kemajuan demokrasi. Itu dilihat dari perspektif noken sebagai pengganti kotak suara dalam Pemilu di Papua.
Sistem noken di Papua.[/caption]
Noken adalah tas unik tradisional Papua yang terbuat dari serat kulit kayu dan telah mendunia sebagai hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan. Karena keunikannya, noken ditetapkan sebagai hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO (The United Nations Educational Scientific And Cultural Organization) pada tanggal 4 Desember 2012.
Dalam pelaksanaan pemilu di Papua baik legislatif, Pilkada maupun Pilpres, noken masih saja digunakan sebagai sarana pengganti kotak suara dalam pemungutan suara. Penggunaan sistem noken dalam Pemilu hanya bersifat kasuistis yang pada waktu itu masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat adat di Papua, terutama di 16 Kabupaten.
Dalam perkembangnya sampai Pemilu tahun 2019, hanya 12 kabupaten yang hampir seluruh TPS masih menggunakan sistem noken/ikat, yaitu: Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Paniai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Dogiyai.
Penggunaan sistem noken di beberapa Kabupaten tersebut di atas, diperkuat dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Nomor: 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019, tanggal 5 April 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemungutan Suara dengan Sistem Noken/Ikat di Provinsi Papua Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, yang merupakan pedoman bagi KPU Provinsi Papua dan KPU Kabupaten dalam pelaksanaan Pemungutan Suara dengan menggunakan sistem noken atau sistem ikat.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Pemilu Tahun 2024, apakah 12 Kabupaten tersebut di atas, masih menggunakan sistem noken/ikat atau sistem one man one vote secara langsung, jujur dan adir dalam pelaksanaan pemungutan suara? Hal ini tentu menjadi perhatian serius dari KPU RI dan KPU Provinsi Papua, termasuk KPU-KPU di beberapa wilayah Provinsi Papua yang baru saja dimekarkan sebagai daerah otonomi baru (DOB) seperti Provinsi Papua Pegunungan, Papua Selatan dan Provinsi Papua Tengah.
Tujuannya agar dalam pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu tahun 2024 sejalan dengan sistem demokrasi yang dianut dalam sistem Pemilu. Sehingga masyarakat di beberapa wilayah kabupaten tersebut tidak terus menerus mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, tetapi masyarakat perlu diajarkan untuk mengalami kemajuan dalam berdemokrasi sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat dalam kemandirian. Sebab, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam konteks penggunaan noken ini, maka noken dapat dipandang dari dua perspektif. Pertama, noken sebagai simbol entitas budaya. Noken dipakai sebagai instrumen demokrasi (baca: pemilu). Sebagai entitas budaya, noken tetap harus dihormati, dihargai, dan dilestarikan dalam khazanah budaya bangsa. Jadi pada tataran ini. Keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi, bahkan tidak perlu dipolitisasi untuk kepentingan pesta demokrasi lima tahunan di Papua, khususnya di 16 kabupaten di wilayah pegunungan Papua. Kedua,noken ditempatkan sebagai instrumen (sarana) demokrasi (baca: dalam pemilu). Karena itu, ini perlu debatable dalam konteks pemilu di Papua. Jangan sampai penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara hanya dipakai sebagai sarana politik atau akal-akalan yang mengatasnamakan masyarakat Papua. Ini tentu sangat berbahaya bagi kemajuan dan peradaban demokrasi di Papua.
Penggunaan sistem noken sebagai pengganti kotak suara mulai diperkenalkan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pemilihan legislatif (Pileg) di beberapa wilayah kabupaten di pegunungan tengah Papua, dilakukan dengan cara budaya setempat. Penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara ini dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 47-81/PHPU.A-VII/2009), tertanggal 9 Juni 2009 dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yahukimo 2009. Saat itu, MK memperbolehkan menggunakan system noken atau sistem ikat dalam pemungutan suara di beberapa daerah kabupaten di wilayah pegunungan. Putusan MK yang melegalkan penggunaan sistem noken ini hanyalah bentuk penghargaan terhadap keberagaman budaya dalam kemajemukan Indonesia yang masih hidup di kalangan sebagian masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan Pemilu dengan cara atau metode kesepakatan warga atau aklamasi.
Selanjutnya dalam Putusan MK No.06-32/PHPU.DPD/2014, Mahkamah menegaskan bahwa sistem noken/ikat hanya diselenggarakan di kabupaten yang selama ini menggunakan sistem noken/ikat. Kendatipun MK telah melegalkan penggunaan sistem noken/ikat dalam Pemilu di Papua. Namun, putusan MK tersebut tidak dapat dipandang atau ditafsirkan sebagai suatu norma hukum yang akan digunakan secara terus-menerus sebagai dasar hukum penggunaan noken sebagai sebuah “sistem” pemilu di Papua. Noken hanyalah sebuah simbol budaya dan tidak dapat digunakan secara permanen, sebagai instrumen demokrasi dalam Pemilu di Papua. Karena sistem seperti itu tidak akan pernah mendidik masyarakat untuk mengalami kemajuan dalam peradaban berdemokrasi.
Politisasi Sistem Noken Dalam Pemilu di Papua
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sistem politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan. Dalam kaitan ini, maka masyarakat mestinya terus diajarkan menyadari hak, kewajiban, serta tanggung jawab konstitusionalnya sebagai warga negara. Bukan sebaliknya, masyarakat terus menjadi objek untuk kepentingan elite-elite politik yang terus memolitisasi atas nama masyarakat dengan dalil “kebodohan dan keterbelakangan”. Jika demikian, di manakah tanggung jawab kita sebagai bangsa?
Dalam hubungan ini, politisasi terhadap “sistem” noken yang terus terjadi dalam pemilu di Papua hanya melahirkan politikus-politikus atau para pemimpin yang tidak berkualitas dan tidak berwawasan sebagai negarawan. Bahkan, cenderung melahirkan pemimpin yang korup. Hal tersebut karena salah satu indikator kemajuan demokrasi akan sangat ditentukan dari kualitas sumber daya manusia para politikus atau para pemimpin yang dipilih secara demokratis mewakili kepentingan rakyat. Rakyatlah yang semestinya menentukan kualitas demokrasi melalui Pemilu. Bukan sebaliknya, rakyat dipolitisasi untuk menentukan kualitas para politikus atau para pemimpin.
Jika ini terus terjadi, masyarakat Papua akan terus mundur dalam demokrasi dan tidak akan pernah maju dalam peradaban demokrasi. Biarkan masyarakat bebas menggunakan hak pilih mereka secara demokratis, sesuai hati nuraninya, tanpa upaya masif atau paksaan dengan cara memolitisasi noken sebagai suatu keniscayaan dalam pesta demokrasi di Papua. Di sinilah dibutuhkan peran penting pemerintah dan lembaga penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU untuk mengantarkan kemajuan masyarakat ke pintu gerbang demokrasi Indonesia. Ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan suatu bangsa dan negara.
Sebagai anak bangsa, kita tentu tidak pernah berpikir untuk terus-menerus membodohi atau membohongi masyarakat dengan dalil apa pun atas nama demokrasi untuk tetap mempertahankan budaya noken dalam konteks pemilu. Pemilu dari waktu ke waktu harus lebih berkualitas, lebih bermartabat, dan lebih demokratis dari pemilu sebelumnya. Masyarakat di Papua harus terus mengalami peradaban yang lebih maju dalam proses demokrasi, terutama dalam menggunakan hak dan tanggungjawab konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia.
Kita tentu berharap dalam Pemilu tahun 2024 tidak lagi menggunakan sistem noken. Melainkan perlu diubah menjadi dengan sistem one man one vote sebagai cerminan untuk mengembalikan demokrasi yang sesungguhnya ke tangan rakyat. Hal ini selain untuk menghindari politisasi sistem noken dalam pemilu di Papua, tetapi juga sistem noken ini sangat berpotensi menimbulkan banyak kecurangan. Bahkan, pertikaian antara warga masyarakat terus terjadi dalam konstestasi Pemilu di Papua.
Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya demokrasi, sehingga Pemilu dari waktu ke waktu KPU perlu meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Semoga!
*Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) Kota Jayapura dan Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak.
Penulis : Redaksi Iustitia Papua