Hukrim
Praperadilan Ditolak, Tim Kuasa Hukum : Ini Sangat Fatal dan Kami Sedikit Kecewa
Kamis, 30 Mei 2024 Jayapura 261 Pengunjung
Caption : Tim Kuasa Hukum Sekda Keerom Non Aktif saat foto bersama saksi ahli Chairul Huda (tengah) usai memberikan kesaksian pekan lalu. (foto : ist)
JAYAPURA (IUSTITIA PAPUA) –
Tidak dapat menyembunyikan rasa kecewanya, menyusul putusan Hakim Praperadilan
yang menolak gugatan kliennya di Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura, Rabu sore
(29/5/2024).
Dalam persidangan yang dipadati pengunjung
itu, hakim membeberkan alasan ditolaknya Prapid terkait penangkapan, penahanan,
penyitaan dan penetapan Sekda Keerom Trisiswanda
Indra sebagai tersangka adalah sah.
“Namun demikian ada hal yang sangat menarik
untuk dikomentari. Hari ini saya baru dengar di Pengadilan Negeri Jayapura. Oleh
seorang hakim yang mengatakan bahwa surat pemberitahuan dimulainya penyidikan
itu adalah tidak sah dan bukan menjadi obyek Praperadilan,”kata Tim
Kuasa Hukum Anthon Raharusun, Juhari dan Iwan Niode seusai sidang kepada
sejumlah insan media.
Menurutnya putusan hakim Prapid ini fatal, padahal
dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah sangat jelas bahwa SPDP itulah
yang menjadi obyek Praperadilan.
“Lho kenapa hakim kemudian menyatakan bahwa itu tidak sah dan bukan merupakan
obyek Praperadilan, sehingga dinyatakan tidak sah. Ini satu kekeliruan yang
sangat besar dan ini sangat mencederai rasa keadilan dari Masyarakat,”kata
Pengacara senior Anthon Raharusun.
Dalam putusan MK menyebutkan bahwa
ada pranata baru didalam obyek praperadilan, yaitu mengenai penetapan tersangka
dan juga mengenai pemberitahuan dimulainya penyidikan.
Kenapa demikian, karena satu
proses dimulainya penyidikan itu ada konsekuensi hukumnya. Kliennya saat dipanggil.
Pemanggilannya saja sudah upaya paksa. Apalagi penetapan tersangka, penahanan
dan juga SPDP.
“Ini fatal dan putusan seperti ini harus dikoreksi lembaga peradilan
seperti ini,”tukasnya.
Lanjutnya proses penegakkan hukum
ada dua hal yang sangat penting. Pertama adalah bagaimana mengenai penegakkan
hukum atau menegakkan hukum dan keadilan.
Menegakkan hukum belum tentu
menegakkan keadilan atau bersama – sama, dua-duanya menegakkan keadilan. Tetapi menegakkan keadilan sudah pasti
menegakkan hukum itu sendiri.
“Dalam prosesnya sekarang ini kita
lihat bahwa Keputusan ini sangat fatal dan kami tidak percaya dengan keputusan itu,”singgungnya.
Saatnya KPK dan KY Turun
Dirinya menyayangkan sekali
karena Praperadilan bukan merupakan bagian dari untuk mengajukan upaya hukum. Jadi
putusan ini terus terang sangat mencederai rasa keadilan masyarakat dan juga
hal ini harus menjadi koreksi.
“Semestinya sudah saatnya Komisi
Yudisial maupun KPK, sudah harus turun mengawasi hakim – hakim disini (PN
Jayapura-red). Harus melakukan OTT dan ini sangat penting. Sehingga Lembaga peradilan
harus memiliki citra yang baik didalam proses penegakkan hukum,”bebernya.
Keadilan ini sangat mahal sekarang ini. “Terus terang kami sedikit kecewa dengan
putusan itu. Karena hakim berani mengatakan bahwa SPDP itu bukan merupakan
obyek pra peradilan. Itu fatal. Justru itulah salah satu titik poin untuk
menyatakan bahwa tindakan, penangkapan, penahanan dan penetapan seorang tersangka
itu adalah tidak sah. Kalau hakim obyektif,”paparnya.
Tetapi dalam perkara ini jelas –
jelas hakim sangat tidak obyektif.
Sementara itu Iwan Niode
dihadapan insan pers membacakan pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa SPDP itu
tidak dianggap sebagai bentuk kelengkapan administrasi belaka. Melainkan dianggap
sebagai implementasi prinsip check and balance antara penyidik dan penuntut umum. Terlapor,
korban pelapor. Apabila hal tersebut tidak dilakukan. Maka dianggap telah terjadi
cacat procedural dalam tahapan penyidikan. Karena dipandang penyidikan dilakukan
tidak transparan dan tanpa adanya pengawasan.
“Ini berbeda dengan putusan hakim Prapid. Bahwa apa yang dianggap MK
itu, Tidak dianggap,”singgungnya.
SPDP menjadi fungsi control didalam
proses penyidikan. Apalagi kasus ini sudah mulai disidik sejak tahun 2021 –
2022 – 2023 dan di tahun 2024 baru ditetapkan tersangka.
Ini proses penyidikan sudah
sangat jauh dan yang dikatakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi
penyaluran dana Bansos Pemda Keerom Tahun Anggaran (TA) 2018 senilai Rp.
18.258.250.000,- sama sekali tidak diterima oleh kliennya.
Semua jelas didalam BAP. Bahkan ada
oknum jaksa menerima Rp. 1.120.000.000,-. Kemudian kepada Rekening Donasi
Bencana BPBD Provinsi Papua sebesar Rp. 100 juta,
Kemudian diberikan kepada tujuh anggota DPRD Kabupaten Keerom sebesar
Rp.2.506.250.000 atas perintah Bupati Keerom Alm Muhammad Markum.
Kemudian juga untuk ASN yang kemungkinan digunakan untuk biaya studi
sebesar Rp. 1,8 miliar lebih.
“Sangat jelas. Jadi kasus ini
juga sangat terkait dengan ada dugaan konflik kepentingan politik local,”kata
Anthon menyela.
Kalaupun hakim obyektif bisa saja
menyatakan bahwa SPDP itu fatal. “Hakim (hakim yang memimpin jalannya
sidang-red) ini memang bagus. Tapi saya tidak mengerti kenapa sampai membuat
putusan seperti ini.
Sedangkan Juhari juga membantah
putusan hakim Wempi Willem Duka yang mengatakan SPDP itu bukan obyek pra
peradilan. “Ini yang tidak betul. Jadi Putusan MK No.130 yang merupakan
penambahan. SPDP merupakan obyek Praperadilan. Jadi kalau dalam waktu tujuh
hari kemudian oleh penyidik telah diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Maka
konsekuensi-nya batal demi hukum dan
menjadi obyek praperadilan bukan kelengkapan administrasi. Tidak boleh dan tidak
betul,”urainya.
Sehingga pertimbangan dari hakim
menurut pengacara senior ini dianggap pertimbangan yang ngawur. “Kita baru tau putusan
hakim model seperti ini,”singgungnya.
Pasalnay kalau hakim obyektif,
maka SPDP itu batal dan menyatakan proses penyidikan tidak sah.
Dengan mengacu pada pendapat para ahli yang menyatakan kalau SPDP itu
tidak disampaikan. Maka seluruh proses penyidikan harus dianggap tidak sah. Baik
itu penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka.
Sementara Anthon Raharusun menyarankan
harus ada kontrol supaya Lembaga pra peradilan harus bersih. Sudah saatnya
Pengadilan Jayapura ada pengawasan khusus dari KPK dan KY bila perlu ada OTT. “Kami
bukan mencurigai tapi menduga seperti itu,”pungkasnya. (Julia)
Penulis : Editor Iustitia