logo loading

Catatan Hukum Dr. Anthon Raharusun

Senja di Pantai Holtekamp

Senin, 05 Februari 2024 Jayapura 1510 Pengunjung

Senja di Pantai Holtekamp

Ilustrasi Pantai Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua (foto : ist)

Hari itu Senin di waktu senja, saya bersama klien melihat lokasi tanah, yang menjadi objek jual beli antara klien saya dengan pemilik hak atas tanah seluas 97.126 m2, yang terletak di Pantai Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Provinsi Papua tepatnya dekat PLTU dan Jalan PT. Hanurata.  

 Jual-beli tersebut dilakukan sejak tahun 2023 dan klien saya telah melakukan transaksi jual beli dengan Mr. X. Pembayarannya yang sangat fantatis sekitar Rp. 11 miliar lebih.

 Transaksi ini dilakukan jauh sebelum saya menangani permasalahan jual beli tanah tersebut. Saya baru menangani atau mendampingi klien saya tertanggal 2 Februari 2023, sesuai surat kuasa yang diberikan kepada saya.

  Tanah tersebut semula adalah tanah adat milik salah satu Suku Port Numbay, tetapi kemudian entah bagaimana, diberikan kepada salah satu perusahaan swasta dengan pemberian hak berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

  Namun  kemudian setelah melalui proses hukum di Pengadilan Negeri, tanah tersebut kemudian dikembalikan kepada Pihak Adat, yang selanjutnya dijual Mr. X kepada klien saya berupa SHGB. Surat  Pernyataan pengukuhan Sertifikat HGB No. 001 dan No. 002 Tahun 1994 di atas tanah adat Suku X di Desa Holtekamp Distrik Muara Tami, Kota Jayaputa yang dibuat antara Mr. X selaku penjual dengan klien saya.

Kendatipun klien saya telah membayar Rp. 10 miliar lebih kepada Pemegang SHGB dalam hal ini Mr. X. Tapi klien saya juga belum dapat menguasai objek tanah tersebut sesuai peruntukkannya.

 Hal ini karena Mr. X selaku pihak penjual belum bersedia mengadakan Akta Jual Beli (AJB) di Notaris dan juga proses administrasi balik nama di BPN dari Pemegang SHGB kepada klien saya dengan berbagai alasan.

 Padahal, SHGB tersebut jangka waktunya akan berakhir Februari 2024 dan Maret 2024. Sedangkan Mr. X belum mengajukan perpanjangan SHGB tersebut kepada Kantor BPN Kota Jayapura.

Lalu, apa akibat hukum kalau kemudian Mr. X tidak mengajukan perpanjang SHGB tersebut kepada BPN?

 Kemudian tanggal 2 Februari 2024, klien saya ditelpon Mr. X, minta klien saya untuk menyediakan uang sejumlah Rp. 2 miliar. Usai mendapat telepon, saya bersama klien bertemu dengannya di salah satu hotel di Jayapura.

 Pada pertemuan petang itu, terjadi tawar menawar antara klien saya dengan Mr. X terkait nominal yang dimintakannya.

Sebagai kuasa hukum, saya tentu ikut berperan membantu klien saya untuk bernegosiasi mencari solusi dengan Mr. X terkait nilai nominal sebagaimana, yang dimintakan kepada klien saya.

 Akhirnya dari hasil negosiasi, permintaan Rp. 2 miliar turun menjadi Rp.800 juta. Namun, klien saya hanya bisa menyanggupi untuk memberikan Rp. 500 juta pada petang itu dan sisanya akan ditransfer dalam beberapa hari setelah pertemuan tersebut.

Dari permasalahan hukum yang dialami oleh klien saya tersebut di atas, pertanyaan yang timbul adalah bagaimana klien saya dapat memperoleh hak atas tanah SHGB berdasarkan transaksi jual beli tersebut? Bagaimana  aturan hukum terkait masa berakhirnya SHGB ?

Secara singkat dapat saya jelaskan bahwa, sekalipun klien saya belum melakukan proses AJB ataupun balik nama dari Mr. X kepada klien saya, tapi jual beli tersebut telah dianggap sah secara hukum dan klien saya berhak mengurus proses administrasi balik nama di BPN, bahkan sudah berhak untuk menguasai objek tersebut.

 Permasalahan hukum dalam jual beli tersebut adalah merupakan perbuatan hukun Perdata, yaitu perjanjian jual beli, di mana klien saya telah melakukan transaksi mencapai Rp. 11 miliar lebih. Sementara  Mr. X belum memberikan suatu kepastian hak atas objek jual beli tersebut kepada klien saya.

Tindakan Mr. X ini, dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Wanprestasi atau Ingkar Janji, yang dapat saja menyeretnya ke ranah hukum baik Perdata maupun Pidana.

 Selanjutnya mengenai Sertifikat HGB yang masa berlakunya telah berakhir. Bagaimana hukumnya ?

 Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa masa berlaku Sertifikat HGB mencapai 30 tahun, dan dapat diperpanjang untuk masa 20 tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.

Pemegang SHGB wajib untuk mengajukan perpanjangan minimal 2 tahun sebelum masa berlaku HGB berakhir. Hak atas HGB bisa gugur atau hapus, karena sejumlah alasan. Salah satunya adalah jangka waktunya berakhir (baca pasal 40 UU No.5/1960).

 Demikian, ceritera singkat Senja di Pantai Holtekamp bersama klien saya.

(Dalam rubrik catatan hukum ini sengaja tidak dibahas secara mendalam, hanya catatan kecil yang disuguhkan kepada para pembaca, dengan alur cerita singkat, gaya tulisan yang lugas, enak dibaca dan perlu, namun tetap kritis)

 


Penulis : Editor Iustitia