logo loading

Catatan Hukum Dr. Anthon Raharusun

Soal Penyidikan dan SPDP

Senin, 12 Februari 2024 Jayapura 1326 Pengunjung

Soal Penyidikan dan SPDP

Caption : Advokat Anthon Raharusun saat diwawancarai seusai sidang Praperadilan di PN Jayapura. (foto : ist)

Dua kali saya dipercayakan sebagai kuasa hukum Polda Papua dalam dua kasus praperadilan terhadap Polres Keerom.

 Praperadilan pertama diajukan mas Bro salah satu Calon Kepala Kampung Ifia-fia, Distrik Arso Barat, Kebupaten Keerom.

 Praperadilan kedua diajukan oleh salah satu dari dua tersangka pembawa narkotika, yang terjadi di wilayah hukum Polres Kabupten Keerom. Kedua praperadilan tersebut semuanya dimenangkan Polres Keerom.

 Praperadilan pertama diajukan oleh pemohon Mas Bro melalui para pengacaranya, tertanggal 5 September 2023 dan praperadilan kedua diajukan Pace X melalui para pengacaranya, tertanggal 3 Januari 2024 yang masing – masing  terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri Klas 1A Jayapura di bawah Nomor 4/Pid.Pra/2023/PN.Jap dan Nomor 1/Pid.Pra/2024/PN.Jap.

 Objek Praperadilan yang pertama, Mas Bro mempersoalkan mengenai permasalahan “penyidikan” dan mengenai Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau “SPDP” yang tidak diberikan kepada Mas Bro selaku “Terlapor” yang nota bene belum ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik.

 Jadi, masalah utama yang menjadi objek praperadilan yang diajukan Mas Bro melalui tim kuasa hukumnya adalah terkait dengan masalah “Penyidikan” dan “SPDP”.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah masalah “penyidikan” dapat diajukan sebagai objek praperadilan? Dan apakah “SPDP” yang tidak disampaikan kepada seorang terlapor atau pelapor merupakan objek praperadilan?

Terhadap kedua pertanyaan hukum tersebut di atas, dapat disimak penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan berdasarkan bukti-bukti itu pula ditentukan tersangkanya”.

 Dari penjelasan pasal 1 angka 2 tersebut, jelaslah bahwa tindak penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres Keerom adalah penyidikan yang tidak terkait dengan penetapan tersangka, yang tidak termasuk dalam ranah objek praperadilan yang menjadi kewenangan pengadilan negeri.

 Sebab, yang berhak mengajukan permohonan praperadilan, apabila seseorang ditangkap, ditahan atau ditetapkan sebagai tersangka adalah atas permintaan tersangka, atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

 Untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, harus berdasarkan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti sebagaimana ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

 Selanjutnya terkait SPDP yang tidak disampaikan kepada pelapor atau terlapor, apakah dapat diajukan sebagai objek praperadilan? Terhadap hal ini dapat kita cermati putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, bertanggal 11 Januari 2017, yang amar putusannya menyatakan bahwa “penyidik wajib” memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban atau pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. 

 Putusan MK tersebut harus dimaknai sepanjang mengenai “penetapan tersangka” dan bukan seseorang dalam status sebagai pelapor atau korban, dan terlapor. Jadi, apabila penyidik lalai atau tidak menyampaikan SPDP kepada pelapor atau terlapor tidak dapat dijadikan alasan atau dasar untuk mengajukan Praperadilan ke Pengadilan, apalagi Mas Bro ini belum ditetapkan sebagai tersangka, sekalipun telah dilakukan penyidikan terhadap permasalahan yang dilaporkan.

 Akan  tetapi perlu dipahami bahwa tidak semua peningkatan status dari penyelidikan ke tahap penyidikan itu tidak selalu telah ada tersangkanya. Kenapa demikian? Karena sesuai undang-undang, diperlukan bukti permulaan yang cukup yang didukung minimal dua alat bukti.

Jadi, yang berhak mengajukan permohonan praperadilan adalah seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka tanpa didasarkan pada “bukti permulaan”, tidak ada “bukti permulaan yang cukup”, atau tidak ada “bukti yang cukup” dan tidak didukung dengan minimal dua alat bukti yang sah. Atau dengan kata lain, Penyidik secara sewenang-wenang menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa adanya bukti permulaan yang cukup dan tidak didukung dengan dua alat bukti yang sah.

Kendatipun masalah “penyidikan” dan “SPDP” yang tidak disampaikan kepada pelapor atau terlapor bukan menjadi ranah objek praperadilan, tetapi belajar dari kasus ini atau pun kasus-kasus lainnya dalam tingkat penyidikan, penyidik perlu lebih berhati-hati dalam proses pemeriksaan seseorang di tingkat pendahuluan, agar jangan sampai mengabaikan hak-hak seorang warga negara yang dijamin dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya atau penyidik memperlakukan seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana secara sewenang-wenang.

Oleh karenanya, keberadaan dan kehadiran lembaga Praperadilan di dalam KUHAP, bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, terutama hak-hak seorang tersangka yang sekaligus berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap setiap tindakan aparat penegak hukum yang bertindak secara sewenang-wenang menangkap, menahan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa alasan yang jelas, dapat diuji melalui lembaga praperadilan.

 Demikian, cacatan hukum singkat dari perkara praperadilan yang saya tangani, semoga melalui cacatan hukum singkat ini dapat menambah pengetahuan para pembaca, apabila berhadapan dengan masalah serupa dikemudian hari. Kita tentu berharap, citra Polri dari waktu ke waktu semakin lebih profesional sebagai garda terdepan dalam penegakkan hukum dan keadilan. (***)


Penulis : Editor Iustitia